Ajaran-Ajaran Tasawuf untuk Mengatasi Fear of Missing Out (FOMO) di Era Digital
Tulisan berikut ini, merupakan sala satu tugas dari mata kuliah Psikologi Behaviorisme
Ajaran-Ajaran Tasawuf untuk Mengatasi Fear of Missing Out (FOMO)
di Era Digital
Ayu Puji Lestari 2104046091
Tasawuf dan Psikoterapi UIN Walisongo
A.
Pendahuluan
Pada zaman yang serba semakin canggih ini, gedget, internet dan
media sosial merupakan beberapa hal yang sangat lumrah kita jumpai. Beberapa
hal tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
salah satunya adalah untuk mempermudah segala sesuatu yang diperlukan serta
memangkas keterbatasan-keterbatasan jarak, tempat dan waktu. Informasi didapat
dengan cepat, membeli barang dari jarak jauh dengan mudah, mengirimkan barang
dengan cepat dan lain sebagainya. Selain nilai positif yang kita dapatkan
tersebut, ternyata kemajuan yang serba cepat ini juga memiliki dampak buruk,
yaitu dapat membuat kita merasa takut tertinggal dan merasa bahwa kehidupan
yang dimilikinya tak seindah kehidupan oang lain sehingga menimbulkan kecemasan
pada diri yang biasa disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO).
Fear of Missing Out didevinisikan
oleh Prybylski, Murayama dan Gladwell (2013) sebagai kekhawatiran yang pervasif
ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih memuaskan dan berharga dan
dicirikan dengan adanya dorongan untuk selalu terhubung dengan orang lain[1].
FoMO merupakan jenis kecemasan yang umum dirasakan generasi-generasi golongan
remaja, anak muda dan dewasa awal. Di mana mereka yang mengalami FoMO ini akan
merasa cemas dan takut dikatakan tidak gaul, tidak update dan tekut ketinggalan
berita yang sedang santer, viral atau kekinian. Rasa cemas yang dialami ini
tentu akan dapat menimbulkan efek samping pada orang yang mengalaminya baik dri
segi fisik maupun psikologisnya. Orang-orang yang terdampak FoMO biasanya akan
merasakan kecemasan bila tidak mengikuti sesuatu yang sedang trend pada saat
itu dan merasa khawatir jika belum mengupdate kegiatannya yang berkaitan dengan
hal yang sedang trending tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi, bagaimana ajaran-ajaran
tasawuf mampu mengatasi Fear of Missing
Out pada zaman digital. Menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualitas
dalam diri setiap orang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang
ada terutama untuk mengatasi FoMO ini. Tak hanya untuk mengatasi berbagai
permasalahan, ajaran-ajaran spiritual terutama tasawuf juga memiliki peranan
sangat penting untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan setiap individu yang
mengamalkannya.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau library
research, yaitu penelitian yang menitik beratkan pada kajian-kajian
literatur dengan cara menganalisis kandungan dari literatur-literatur yang
sudah ada yang terkait dengan penelitian ini, baik dari sumber primer maupun
sekunder. Dalam penelitian ini, setelah data yang dikumulkan telah terkumpul,
maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Teknik pengumpulan
data dengan melakukan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur,
catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
ingin dipecahkan.[2] Langkah-langkah
yang dilakukan adalah mengumpulkan data dari buku-buku dan jurnal atau
literatur-literatur lainnya, kemudian mengkaji dan menganalisis data yang
sesuai dengan masalah yang akan dieliti yang terkandung di dalamnya, sehingga
peneliti dapat menyimpulkan informasi yang diperlukan untuk penelitiannya.
Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan tengtang definisi
dari Fear of Missing Out, komponen dari Fear of Missing Out,
faktor-faktor yang mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO),
faktor-faktor penyebab FoMO yang ditinjau dari perspektif tasawuf, peran media
sosial dalam permalahan FoMO, dampak yang ditimbulkan dari FoMO, FoMO menurut
sudut pandang tasawuf, dan bagaimana cara mengatasi FoMO baik dengan perspektif
behavioristik maupun tasawuf.
B.
Pembahasan
1.
Definisi Fear of Missing Out
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Fear of Missing
Out didevinisikan oleh Prybylski, Murayama dan Gladwell (2013) sebagai
kekhawatiran yang pervasif ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih
memuaskan dan berharga dan dicirikan dengan adanya dorongan untuk selalu
terhubung dengan orang lain[3].
JWT Intelligence (2012) menyebutkan bahwa Fear of Missing Out
merupakan suatu kegelisahan yang melibatkan perasaan seseorang, seperti merasa
kehilangan atau tertinggal ketika ketika orang lain melakukan sesuatu yang
dianggap lebih berharga dibandingkan dengan apa yang ia lakukan ada saat itu.
FoMO juga diartikan sebagai kecemasan yang bersifat konstan secara berlebihan
dalam merasa kehilangan sesuatu yang dianggap penting[4].
Individu yang merasakan hal ini, mungkin tidak mengetahui secara spesifik
tentang sesutu yang terlewatkan olehnya, namun walau demikian ia tetap merasa
cemas, khawatir dan takut bahwa orang lain memiliki waktu yang lebih baik dari
dirinya. Secara singkatnya, FoMO diartikan sebagai munculnya perasaan cemas,
takut dan khawatir ketika seseorang tertinggal akan hal yang menarik dan
kekinian sehingga dianggap tidak up date, ketika seseorang merasa
kehilangan moment, tidak mengetahui informasi yang dianggap berharga dari orang
lain atau kelompok lain, terlebih lagi apabila seseorang tersebut merasa terasingkan
serta tidak dapat terhubung dan hadir
dalam suatu kelompok sehingga ia takut untuk tidak dapat diterima oelh
orang lain. Hal ini juga dapat diidentifikasi dengan munculnya keinginan untuk
dapat terus terkoneksi dan terhubung pada apapun yang dilakukan oleh orang lain
melalui media sosial.
2.
Komponen Fear of Missing Out
Teori yang merupakan konsep dasar dalam menyusun aspek-aspek FoMO
menurut Prybylski (2013) adalah Self Deterination Theory (SDT). Menurut Beliau
FoMO dapat terjadi, ketika tidak terpenuhinya tiga aspek kebutuhan dasar
psikologi, yaitu kompetensi, autonomi dan keterhubungan. Penjelasannya dalah
sebagai berikut:
a.
Self, merupakan kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan autonomi dan
kompetensi. Autonomi memliki makna sebagai kemampuan individu dalam menentukan
sebuah keputusan. Sedangkan kompetensi merupakan suatu keyakinan bahwa seorang
individu mampu melakukan suatu tindakan secara efektif dan efisien. Apabila
kebutuhan akan self ini tidak terpenuhi dalam diri seserang, maka menggali
suatu informasi dan berhubungan dengan orang lain melalui internet merupakan
salah satu cara yang dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
b.
Relatedness, adalah suatu kebutuhan
seseoarang untuk selalu merasa terhubung, tergabung dalam suatu kebersaan
dengan individu lain atau dalam suatu kelompok. Ketika kebutuhan reletedness
ini tidak terpenuhi, perasaan takut dan khawatir dalam diri seseorang akan
muncul sehingga membuat seseorang yang mengalaminya akan mencoba mencari tahu
tentang pengalaman dan aktivitas apa saja yang dilakukan oleh orang lain,
seperti halnya melalui media sosial.
Sedangkan menurut Reagle (2015) komponen FoMO dibagi menjadi 4
komponen, yaitu:
a.
Comparison
with friends, yaitu
munculnya perasaan-perasaan negatif yang timbul karena individu melakukan
perbandingan antara dirinya sendiri dengan temannya maupun orang lain.
b.
Being
left out, yaitu munculnya perasaan negatif
sebab seorang individu tidak dilibatkan dalam suatu perbincangan atau kegiatan.
c.
Missed
experiences, yaitu
munculnya perasaan negatif yang disebabkan oleh seorang individu tidak dapat
terlibat atau melibatkan dirinya dalam suatu aktivitas.
d.
Compulsion, yaitu perilaku mengecek aktivitas yang dilakukan oleh orag lain
secara berulang-ulang yang mana dilakukan oleh seorang individu untuk
menghindari perasaan tertinggal berita terkini.
3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO)
Menurut JWT Intelegen, faktor pendorong yang mempengaruhi munculnya
FoMO ada enam aspek, yaitu:
a.
Keterbukaan
informasi di media sosial
Media sosial merupakan salah satu sarana informasi paling cepat
untuk saat ini. Hal ini menjadikan kehidupan individu semakin terbuka dengan
cara membagi atau memamerkan apa yang terjadi saat ini, serta banyaknya
pembaharuan informasi, kejadian, obrolan, vidio maupun gambar terhangat dan
terbaru. Keterbukaan informasi inilah yang kemudian mengubah budaya masyarakat
yang semula bersifat tertutup menjadi lebih terbuka.
b.
Usia
Usia yang memiliki nilai level FoMO tertinggi menurut JWT Inteligence
(2012) yaitu usia yang berkisar antara 13 sampai dengan 33 tahun. Usia ini
merupakan usia mayoritas masyarakat digital natives, yaitu masyarakat
mahir menggunakan dan memanfaatkan internet. Masyarakat digital natives ini
menduduki jumlah terbanyak pengguna internet dibanding dengan usia generasi
yang lebih muda maupun lebih tua. Bagi kelompok ini, dunia internet sudah
menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
c.
Social one-upmanship
Social one-upmanship
merupakan perilaku di aman seorang individu berusaha untuk melakukan sesuatu
(baik perkataan, perbuatan atau mencari hal lain) untuk membuktikan bahwa
dirinya lebih baik daripada orang lain. Biasa hal ini dibarengi dengan
aktivitas “memamerkan” sesuatu secara daring dimedia sosial. Hal ini dapat
memicu FoMO sebab FoMO sendiri terjadi karena adanya keinginan untuk menjadi
lebih atau bahkan paling baik, paling hebat, atau superior dibandingkan orang
lain.
d.
Peristiwa
yang disebarkan melalui fitur hastag
Peristiwa-peristiwa yang berhastag ini tentulah sebuah peristiwa
yang sedang hangat diperbincangkan khalayak umum yang kemudian banyak pengguna
media sosial yang mengetahuinya bahkan ikut serta menggunakan hastag tersebut.
Hal yang demikian inilah yang kemudian akan menimbulkan perasaan tertinggal
bagi individu yang tidak atau terlambat untuk ikut serta melakukan aktivitas
tersebut.
e.
Kondisi
depresi relatif
Kondisi isi disebabkan oleh perilaku individu yang kerap kali
membandingkan dirinya dan kehidupannya dengan kehidupan orang lain hal inilah
yang kemudian memunculkan perasaan missing out atau ketidakpuasan seseorang
atas dirinya sendiri tatkala para penggunanya saling membandingkan diri di
media sosial.
f.
Banyaknya
stimulus untuk mengetahui suatu informasi
Stimulus-stimulus ini beruba maraknya hal-hal baru yang selalu
menjadi topik menarik yang dapat didapatkan dengan mudah, bahkan tanpa usaha
keras untuk mendapatkannya. Hal ini merupakan pendorong keinginana individu
untuk tetap mengikuti perkembangan terkini dalam berbagai aspek dan ini
kemudian memunculkan fear of missing out.
4.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan FoMO dalam Perspektif Islam
Selain 6 aspek tersebut, juga terdapat beberapa faktor yang
bersumber dari religi yaitu dari kajian Agama Islam. Diantara penyebab-penyebab
menurut kajian Islam, yaitu:
1.
Manusia
engan menggunakan potensi yang dimiliki dan dikaruniakan Sang Pencipta
kepadanya, terutama potensi qalbnya untuk memahami, mata untuk memperhatikan,
telinga untuk mendengar dan menyimak dan lain sebagainya. (QS, 7:179)
2.
Karena
potensi-potensi tersebut tidak diberdayak oleh manusia dengan semaksimal
mungkin sebagaimana mestinya, maka Allah-pun mengunci potensi tersebut. (QS,
33:26 dan QS, 7:100-101)
3.
Dikarenakan
Allah telah mengunci potensi tersebut, maka ketakutan, keraguan, kebimbangan
serta kerugian pun senantiasa meliputi mereka. (QS, 33:26; 9:45, dan 3:106)
4.
Jiwa
manusia kemudian diliputi dengan prasangka buruk, dosa-dosa, kemaksiatan serta
hati yang mendua (mendukan Allah dengan hal-hal yang bersifat duniawi). (QS,
48:12; 9:8 dan 9:64)
5.
Jiwa
manusia dipenuhi dengan rasa ujub, sombong, congkak dan sebagainya. (QS, 40:35)[5]
Menurut berbagai pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya
salah satu faktor FoMO adalah manusia yang tidak dapat menggukan potensi baik
yang sudah dianugrahkan kepadanyadengan baik, sehingga Allah mengunci potensi
tersebut. Hal ini merupakan sebb mengapa individu tidak dapat mempertimbangkan
dampak baik dan buruk dari sesuatu yang mereka kerjakan. Selain tidak dapat
mengoptimalkan potennya, FoMO juga disebabkan karena kebanyakan perbuatan
manusia pada zaman sekarang lebih didasarkan pada dorongan syahwat dan hawa
nafsu.
5.
Peran Media Sosial dalam Permasalahan Fear of Missing Out
Dari pemaparan-pemaparan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tentu media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam kemunculan FoMO
apalagi mayoritas manusia adalah penggunanya. Salah satu faktor utama yang
telah disebutkan tadi adalah media sosial ini merupakan jembatan dan tempat
untuk mencari informasi dan berkomunikasi, serta merupakan tempat penyebaran
berita berita terkini dengan sangat cepat sesingga dapat membuat seorang
individu merasa cemas dan takut tertinggal.
Peran media sosial erat kaitannya dengan kebutuhan individu dalam
bersosialisasi. Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki kebutuhan untuk
dapat berinteraksi dalam suatu masyarakat, mendapatkan penakuan akan eksistensi
lingkungan, mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar dan kebutuhan
kebutuhan sosial lainnya. Karena hal ini adalah suatu kebutuhan, maka individu
juga akan berusaha memenuhinya. Dan salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut
pada zaman sekarang adalag dengan selalu eksis di media sosial, yang mana hal
ini memiliki tujuan salah satunya adalah agar seseorang mendapatkan pengakuan,
perhatian dan rasa diterima oleh lingkungan sekitar dan kalayak umum.
Dalam kasus ini, terdapat tiga kebutuhan yang menyebabkannya,
diantara ketiganya adalah sebagai berikut:
a.
Kebutuhan
sosial.
Di era digital seperti sekarang ini, banyak anak muda yang merasa
membutuhkan dan menuntut terpenuhinya persahabatan dengan banyaknya jumlah followers,
subscribe, view, like, comment dan lain sebagainya. Dalam interaksi sosial
secara virtual ini, pengakuan adalah salah satu tujuan utamanya. Dengan
terpenuhinya kebutuhan ini dengan media sosial virtual walau tanpa kehadiran
individu lainnya secara langsung, akan membuat suatu budaya dan kebiasaan baru
bagi generasi saat ini. Dengan segala kemudahan ini, akan membuat para pengguna
media sosial merasa lebih nyaman dalam duni barunya ini (virtual).
b.
Kebutuhan
penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan ini tentu melibatkan orang
lain di dalamnya. Walaupun dalam segala keterbasan jarak dan waktu, media
sosial tetap menjadi sarana yang mampu memenuhi kebutuhan individu akan
penghargaan dan pengakuan, bahkan tanpa disadari dunia nyata yang merupakan
lingkungan terdekatnya malah sering membandingkan seseorang sehingga ia tidak
merasa dihargai dan diakui. Hal ini semakin menjadikan media sosial sebagai
pelarian untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang mana tidak ia dapatkan dalam
dunia nyatanya. Berinteraksi dalam dunia maya terkadang juga akan membuat
pelakunya terlena dan nyaman sebab ia tidak merasakan dampak atau tekanan
secara langsung dari orang-orang sekitarnya.
c.
Kebutuhan
aktualisasi diri
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mencari jati dirinya,
hal inilah yang kemudian akan menelimuti dan mendorong segala ktivitas dan
komunikasi individu sehari-harinya. Dan Fear of Missing Out ini
merupakan salah satu damapk negatif yang diperoleh individu jika tidak dapat
memanfaatkan media sosial dengan baik.
Demikianlah beberapa diantara pengaruh media sosial dalam fenomena
FoMO yang berkaitan dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk
berinteraksi dengan individu lainnya.
6.
Dampak dari Fear of Missing Out
Prsybylski etal
(dalam putra, 2018) menemukan bahwa level FoMO yang tertinggi sangat
berkolerasi pada suasana hati hati serta kepuasan diri yang rendah pada
kebutuhan otonomi, kompetensi, serta relasi. [6]Hal
inilah yang kemudian menyebakan seorang individu kurang mampu dan sulit untuk mengatur perasaan
cemas dan takut kehilangan sehingga membuatnya tidak mampu untuk mengontrol
emosi dan perilakunya.
Dari Fear of
Missing Out seorang individu akan selalu merasa terikat dengan mediasosial.
Hal ini disebabkan karena individu akan takut melewatkan waktu, takut leih
lambat dan tertinggal oleh orang lain dan takut bahwa orang lain akan
mendapatkan pengalaman yang lebih berharga daripada dirinya.
7.
Fear of Missing Out
dalam perspektif Islam
Dalam ilmu
Tauhid membagi ketakutan dan kekhawatiran menjadi 3 macam, yaitu takut alamiyah
(khauf thabi’i), takut bernilai ibadah (khauf ibadah), dan takut
yang bersifat tersembunyi (khauf as-Sirri).
Fear of Missing
Out ini termasuk ke dalam jenis ketakutan dan kekhawatiran yang
pertama, yaitu khauf thabi’i atau ketakutan alamiyah. Ketakutan alamiyah
ini merupakan suatu perasaan takut yang muncul secara alamiyah karena tabiat
manusia, seperti takut api, takut binatang buas, takut tenggelam dan lain
sebagainya termasuk juga kekhawatiran yang berupa FoMO.
Ketakutan
semacam ini tentu harus didasari dengan sesuatu yang jelas sebabnya, bukan
hanya berupa dugaan atau wahm belaka. Ketakutan semacam ini juga diperbolehkan
apabila ketakutan ini tidak mempengaruhi aktivitas kita dan keimanan kita
kepada Allah serta tidak melebihi kadar ketakutan kita kepad aAllah swt. namun
ketakutan ini akan menjadi suatu hal yang tercela apabila hal ini sudah mulai
mengganggu aktifitas individu dalam keshariannya, emosi dan perilakunya mulai
tidak terkontrol, ketakutan ini kadarnya melebihi ketakutan kepad Allah,
ketakutan ini menimbulkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki atau juga
sombong dan lain sebagainya.
Maka dari itu,
sebisa mungkin kita harus mampu mengontrol penggunaan media sosial untuk
meminimalisir adanya FoMO dan sifat-sifat tercela yang disebabakan karenanya.
8.
Mengatasi FoMO dengan perspektif Behavioristik
Salah satu cara
untuk meminimalisir bahkan mengatasi FoMO dalam presfektif behavioristik yaitu
dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan keahlian seorang individu untuk
mengarahkan, mengatur serta membimbing tingkah laku dan juga memegang kontrol penuh atas dirinya
sendiri secara penuh sehingga individu juga dapat mengontrol keinginannya yang
kuang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku (Puspitadesi, dkk 2013).
Sedangkan menurut Averil, kontrol diri adalah bagaimana individu dapat
mengatasi keluhan negatif, sehingga menjadikan keadaan menjadi lebih baik.
Adapun
aspek-aspek yang ada dalam kontrol diri menurut averill (Ghufron dan Rini,
2010), yaitu
1.
Behavioral
Control (Kontrol Perilaku)
Kontol perilaku
merupakan kesiapan respon seorang individu dalam menghadapi sesuatu yang dirasa
kurang menyenangkan. Kemampuan individu dalam mengontrol perilaku ini memiliki
dua komponen; kemampuan dalam mengatur pelaksanaan (regulated
administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus
modifiability). Kemampuan dalam mengatur pelaksaan adalah kemampuan individu
untuk menentukan siapakah yang mampu mengendalikan suatu keadaan dan situasi.
Jika dirinya sendiri tidak mampu menentukannya, maka ia akan menggunakan sumber
eksternal. Dan selanjutnya kemampuan mengatur stimulus, adalah suatu kemampuan
untuk mengetahui kapan dan bagaimana ia harus menghadapi suatu stimulus yang
tidak ia kehendaki. Beberapa cara untuk mengatur, yaitu dengan mencegah atau
menjauhi stimulus, menempati jarak atau tenggang waktu yang terdapat diantara
rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktu
stimulus habis dan membatasi intensitas dari stimulus ini.
2.
Cognitive
Kontrol (Kontrol Kognitif)
Kontrol
kognitif merupakan kemmapuan seorang individu dalam menilai dan mengolah
informasi dengan cara menghubungkan dan mencocokkan suatu kejadian dengan
kejadian lainnya dalam kerangka kognitif. Hal ini bertujuan agar seorang
individu dapat memperhitungkan dan menafsirkan suatu kejaidian atau kondisi dan
memandangnya dari segi yang subjektif dan positif sehingga seorang individu
meminimalisir tenakan. Komponen-komponen yang ada dalam aspek ini adalah
mendapatkan informasi dan melaksakan evauasi.
3.
Retrospektive
Control (Kontrol Retrospektif)
Adalah
kemampuan mengontrol pengalaman masa lalu. Ketika seorang idividu mengalami
suatu kejadian dalam hidupnya, mereka kerap kali mencari makna atau arti dari
kejadian yang dialami tersebut. Hal ini mungkin tidak akan menjadikannya dapat
meramal atau memprediksi apa yang akan terjadi, namun hal ini dapat membantu
seorang individu untuk meringankan kekhawatiran dan kecemasannya.
Selain dengan
kontrol diri, hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi FoMO adalah
dengan cara menganal diri sendiri. Tahu aapa yang menjadi kekurangan dan
kelemahan diri sendiri, tahu apa yang dibutuhkan dan yang tidak, tahu apa yang
dapat dikontrol oleh diri sendiri dan yang tidak dan lain sebagainya.
9.
Mengatasi FoMO dengan Prespektif Tasawuf
Tasawuf merupakan suatu ajaran agama Islam untuk mensucikan hati
seorang sufi untuk menuju Tuhannya. Namun, selain ajaran tentang bagaimana
etika seorang sufi terhdap Tuhannya, dalam tasawuf juga mengajarkan bagaimana
manusia beretika dengan sesama serta bagaimana menumbuhkan jiwa yang sehat
dalam diri individu. Diantara ajaran-ajaran tasawuf yang disuguhkan untuk
mengatasi permasalah Fear of Missing Out adalah:
a.
Menjaga
Diri dari Syahwat Hawa Nafsu (dengan Berpuasa)
Syahwat dan hawa nafsu merupakan dorongan dalam diri individu untuk
mendapatkan dan melakukan sesuatu yang disenanginya. Dalam teori psikologi
Sigmund Freud hal ini bisa disebut dengan Id sedangkan media sosial merupakan
penyalur dorongan ini sehingga dapat disebut dengan Ego, dan Super Ego
berupa nilai moral, aturan, norma dan
akhak.
Dalam persoalan FoMO, keinginan untuk selalu terhubung dengan orang
lain, selalu mengikuti perkembangan yang ada, ingin terlihat lebih atau menjadi
paling baik dibandingkan dengan orang lain dan lain sebagainya tersebut
merupakan suatu dorongan nafsu yang terdapat dalam diri manusia. Apabila
seseorang tidak dapat mengendalikan nafsunya ini, ia cenderung akan
menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya, walaupun hal tersebut
tidak sesuai dengan nilai moral, norma dan aturan yang berlaku.
Oleh karen itu, angat penting bagi setiap individu untuk menjaga diri
nari syahwat dan hawa nafsu. Dan melakukan amalan puasa merupakan salah satu
metode menjinakkan hawa nafsu yang disuguhkan oleh ajaran agama Islam.
b.
Makrifatun nafs
Makrifatun nasf adalah kemampuan individu untuk mengenali dirinya
sendiri. Beberapa aspek pengenalan diri yang dapat menjadi beberapa solusi
untuk mengatasi FoMO adalah
1.
Mengenali
kelebihan dan kekurangan diri, hal ini diharapkan agar setiap individu memiliki
konsep diri yang baik dan tidak selalu membandingkan dirinya dengan orang lain,
sehingga menghindarkannya dari kecemasan.
2.
Mengetahui
sesuatu yang dapat dikontrol dan tidak. Penilaian orang lain terhadap diri kita
bukanlah sesuatu yang dapat kita kontrol dan hal yang dapat kita kontrol adalah
respon kita terhadap penilaian tersebut, bagaimana kita menanggainya,
menentukan apa yang akan kita lakukan kedepannya dan bagaimana kita
mengevaluasi diri kita dengan hal tersebut.
Dengan demikian hal yang dapat dilakukan adalah dengan memfokuskan
diri dengan apa yang dapat dikontrol, bukan dengan penilain dari orang lain.
Dalam hal ini, bukan berarti harus mengabaikan seratus persen penialain orang
lain, karena penilai orang lain juga dapat menjadi salah satu tolak ukur untuk
seorang individu mengevaluasi dirinya (mengambil baiknya saja).
3.
Mengetahui
seberapa besar kemampuan dirinya (dalam berbagai persoalan) dan tidak terlalu
memaksakan diri untuk mencapai sesuatu diluar batas kemampuannya.
4.
Mengetahui
apa tujuan utama serta kebutuhannya sehingga dapat lebih dapat fokus
terhadapnya bukan hanya berfokus dengan keinginan yang tidak terlalu penting
untuk tujuan dan kebutuhan dalam hidupnya.
5.
Dan
lain sebagainya.
c.
Qanaah, merupakan sikap rela menerima dan merasa cukup atas segala seuatu
yang telah diberikan oleh Tuhan dan tidak merasa kurang atasnya. Jika dalam
diri individu telah tertanam nilai qanaah, secara otomatis ia akan lebih dapat
menerima dirinya dan tidak membandingkan kehidupannya dengan orang lain, bahkan
hingga merasa bahwa kehidupannya tidak lebih baik dari kehidupan orang lain.
Hal ini kemudian akan membuahkan suatu ketenangan batin karena
individu telah menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya, menerima
kehidupannya, merasa kucup atas segala seuatu yang telah ia punya (baik
bersifat material atau bukan) dan akan meminimalisir kekawatiran yang berlebih
dari FoMO.
d.
Ridlo
Ridlo adalah
kerelaan hati dalam menerima segala sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan
kepadanya, baik itu berupa sesuatu yang disukai maupun tidak, serta mempercai
bahwa hal tersebut adalah yang terbaik baginya. Dengan kerelaan dan penerimaan
ini, seorang individu akan dapat lebih berlapang dada menerima bahwa tak semua
yang ia dapat harus sama dengan yang orang lain dapat. Menerima bahwa dirinya
tak harus terlihat lebih baik, hebat dan superior dibandeng dengan orang lain.
Dan dalam hal ini, individu juga memahami bahwa setiap orang hakikatnya sama.
Dalam setiap kehidupan individu tentu ada yang namanya sesuatu yang
menyenangkan dan tidak, dan bisa saja yang orang lain tunjukkan hanyalah hal
menyenangkan yang hanyamerupakan bagian kecil dari hidupnya sehingga dapat juga
mencegah dan mengatasi sifat iri dan dengki dalam diri individu.
Demikianlah beberapa cara menangatasi Fear of Missing Out dalam
presfektif tasawuf.
C.
Kesimpulan
Fear of Missing Out
merupakan suatu kegelisahan yang melibatkan perasaan seseorang, seperti merasa
kehilangan atau tertinggal ketika ketika orang lain melakukan sesuatu yang
dianggap lebih berharga dibandingkan dengan apa yang ia lakukan ada saat itu.
Diantara komponen dari Fear of Missing Out menurut Prybylski (2013) adalah self,
dan reletedness, sedangkan menurut Regle (2015) adalah Comparison with friends, being left
out, missed experiences dan compultion.
Keterbukaan informasi, usia, social one-upmanship, peristiwa
yan disebarkan melalui fitur hastag,
kondisi depresi relatif dan banyaknya stimulus untuk mengetahui suatu
informasi merupan faktor-faktor yang dapat menyebabkan FoMO. Dan salah satu faktor FoMO dari perspektif tasawuf
adalah manusia yang tidak dapat menggukan potensi baik yang sudah dianugrahkan
kepadanyadengan baik, sehingga Allah mengunci potensi tersebut. Hal ini
merupakan sebb mengapa individu tidak dapat mempertimbangkan dampak baik dan
buruk dari sesuatu yang mereka kerjakan. Selain tidak dapat mengoptimalkan
potennya, FoMO juga disebabkan karena kebanyakan perbuatan manusia pada zaman
sekarang lebih didasarkan pada dorongan syahwat dan hawa nafsu.
Media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini,
karena media sosial sendiri merupakan penghubung dan penyalur manusi dengan
beberapa aspek kebutuhan sosial psikologisnya yang juga tak dapat dihindarkan
dari kehidupan individu dalam kesehariannya.
Dampak dari level FoMO yang tertinggi sangat berkolerasi pada
suasana hati hati serta kepuasan diri yang rendah pada kebutuhan otonomi,
kompetensi, serta relasi. Hal inilah
yang kemudian menyebakan seorang individu
kurang mampu dan sulit untuk mengatur perasaan cemas dan takut
kehilangan sehingga membuatnya tidak mampu untuk mengontrol emosi dan perilakunya.
Fear of Missing Out
dalam pandangan tasawuf termasuk ke dalam jenis ketakutan dan kekhawatiran yang
pertama, yaitu khauf thabi’i atau ketakutan alaiyah. Ketakutan alamiyah ini
merupakan suatu perasaan takut yang muncul secara alamiyah karena tabiat
manusia, seperti takut api, takut binatang buas, takut tenggelam dan lain
sebagainya termasuk juga kekhawatiran yang berupa FoMO.
Dalam sudut pandang behavioristik FoMO dapat diatasi dengan konsep
kontrol diri (kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol retrospektif) dan
dengan pengenalan terhadap diri sendiri. Dan dalam sudut pandang tasawuf, FoMO
dapat diatai dengan ajaran tasawuf yang berupa penjagaan diri terhadap syahwat
dan nafsu, makrifatun nafs, qanaah, dan ridlo
Daftar Pustaka
Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah
Alqur'an (MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya.
Hadiarni. (2016). Psikopatologi
Akibat Kecanduan Media Sosial dan Bimbingan Konseling Islami Sebagai Alternatif
Solusinya. Batusankar International Conference.
Imaddudin. (2020). Fear of Missing
Out (FoMO) dan Konsep Diri Generasi-Z: Ditinjau dari Aspek Komunikasi. Journalism,
Public Relation and Media Communication Studies Journal.
Nicho Alinton Sianipar, D. V.
(2019). Hubungan Antara Regulasi Diri dengan Fear of Missing Out (FoMO) Pada
Mahasiwa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal
Empati.
Sutrisni
Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta; Fak. Psikologi UGM, 1990)
Syars,
E. (2013). The effects of smartphone use on cognitive and social functions
(Undergraduate). University of Colorado.
Triani,
C. I. & Ramdhani, N (2017). Hubungan Antara Kebutuhan Berelasi dan Fear
of Missing Out pada Pengguna Media Sosial dengan Harga Diri Sebagai
Moderator (Unpublished Thesis). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Turkle,
S. (2011). Alone together: why we expect more from technology and less
from each other. New York, NY: Basic Books.Wallace, P. (2014).
Science & Society: Internet addiction disorder and youth. EMBO Reports,
15(1), 12-16.
Wibowo,
D.S., & Nurwindasari, R. (2019). Hubungan Intensitas Penggunaaan
Instagram Terhadap Regulasi Diri dan Fear Of Missing Out. Jurnal
Fakultas Psikologi Universitas Muhammdiyah Jember.
Wire,
P. (2014). Summer Is The Peak Season For Fear Of Missing Out As New
Research Shows That 60% Of Brits Claim To Experience FOMO. Diakses
dari
www.pressat.co.uk/releases/summer-is-the-peak-season-for-fear-ofmissing-out-as-new-research-shows-that-60-of-brits-cla
Wulandari,
A. (2020). Hbungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada
Manusia. scolar.
[1]
Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah Alqur'an
(MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya. Academia, 3.
[2]
Sutrisni Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta; Fak. Psikologi UGM,
1990)
[3]
Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah Alqur'an
(MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya. Academia, 3
[4]
Wulandari, A. (2020). Hbungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada
Manusia. scolar, 18.
[5]
Hadiarni. (2016). Psikopatologi Akibat Kecanduan Media Sosial dan Bimbingan
Konseling Islami Sebagai Alternatif Solusinya. Batusankar International
Conference, 348.
[6]
Wulandari,
A. (2020). Hubungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada Manusia. scolar,
24.