Ajaran-Ajaran Tasawuf untuk Mengatasi Fear of Missing Out (FOMO) di Era Digital

 

Tulisan berikut ini, merupakan sala satu tugas dari mata kuliah Psikologi Behaviorisme


Ajaran-Ajaran Tasawuf untuk Mengatasi Fear of Missing Out (FOMO) di Era Digital

Ayu Puji Lestari 2104046091

Tasawuf dan Psikoterapi UIN Walisongo

A.    Pendahuluan

Pada zaman yang serba semakin canggih ini, gedget, internet dan media sosial merupakan beberapa hal yang sangat lumrah kita jumpai. Beberapa hal tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah untuk mempermudah segala sesuatu yang diperlukan serta memangkas keterbatasan-keterbatasan jarak, tempat dan waktu. Informasi didapat dengan cepat, membeli barang dari jarak jauh dengan mudah, mengirimkan barang dengan cepat dan lain sebagainya. Selain nilai positif yang kita dapatkan tersebut, ternyata kemajuan yang serba cepat ini juga memiliki dampak buruk, yaitu dapat membuat kita merasa takut tertinggal dan merasa bahwa kehidupan yang dimilikinya tak seindah kehidupan oang lain sehingga menimbulkan kecemasan pada diri yang biasa disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO).

Fear of Missing Out didevinisikan oleh Prybylski, Murayama dan Gladwell (2013) sebagai kekhawatiran yang pervasif ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih memuaskan dan berharga dan dicirikan dengan adanya dorongan untuk selalu terhubung dengan orang lain[1]. FoMO merupakan jenis kecemasan yang umum dirasakan generasi-generasi golongan remaja, anak muda dan dewasa awal. Di mana mereka yang mengalami FoMO ini akan merasa cemas dan takut dikatakan tidak gaul, tidak update dan tekut ketinggalan berita yang sedang santer, viral atau kekinian. Rasa cemas yang dialami ini tentu akan dapat menimbulkan efek samping pada orang yang mengalaminya baik dri segi fisik maupun psikologisnya. Orang-orang yang terdampak FoMO biasanya akan merasakan kecemasan bila tidak mengikuti sesuatu yang sedang trend pada saat itu dan merasa khawatir jika belum mengupdate kegiatannya yang berkaitan dengan hal yang sedang trending tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi, bagaimana ajaran-ajaran tasawuf  mampu mengatasi Fear of Missing Out pada zaman digital. Menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualitas dalam diri setiap orang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada terutama untuk mengatasi FoMO ini. Tak hanya untuk mengatasi berbagai permasalahan, ajaran-ajaran spiritual terutama tasawuf juga memiliki peranan sangat penting untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan setiap individu yang mengamalkannya. 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang menitik beratkan pada kajian-kajian literatur dengan cara menganalisis kandungan dari literatur-literatur yang sudah ada yang terkait dengan penelitian ini, baik dari sumber primer maupun sekunder. Dalam penelitian ini, setelah data yang dikumulkan telah terkumpul, maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Teknik pengumpulan data dengan melakukan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.[2] Langkah-langkah yang dilakukan adalah mengumpulkan data dari buku-buku dan jurnal atau literatur-literatur lainnya, kemudian mengkaji dan menganalisis data yang sesuai dengan masalah yang akan dieliti yang terkandung di dalamnya, sehingga peneliti dapat menyimpulkan informasi yang diperlukan untuk penelitiannya.

Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan tengtang definisi dari Fear of Missing Out, komponen dari Fear of Missing Out, faktor-faktor yang mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO), faktor-faktor penyebab FoMO yang ditinjau dari perspektif tasawuf, peran media sosial dalam permalahan FoMO, dampak yang ditimbulkan dari FoMO, FoMO menurut sudut pandang tasawuf, dan bagaimana cara mengatasi FoMO baik dengan perspektif behavioristik maupun tasawuf.

B.       Pembahasan

1.             Definisi Fear of Missing Out

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Fear of Missing Out didevinisikan oleh Prybylski, Murayama dan Gladwell (2013) sebagai kekhawatiran yang pervasif ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih memuaskan dan berharga dan dicirikan dengan adanya dorongan untuk selalu terhubung dengan orang lain[3]. JWT Intelligence (2012) menyebutkan bahwa Fear of Missing Out merupakan suatu kegelisahan yang melibatkan perasaan seseorang, seperti merasa kehilangan atau tertinggal ketika ketika orang lain melakukan sesuatu yang dianggap lebih berharga dibandingkan dengan apa yang ia lakukan ada saat itu. FoMO juga diartikan sebagai kecemasan yang bersifat konstan secara berlebihan dalam merasa kehilangan sesuatu yang dianggap penting[4]. Individu yang merasakan hal ini, mungkin tidak mengetahui secara spesifik tentang sesutu yang terlewatkan olehnya, namun walau demikian ia tetap merasa cemas, khawatir dan takut bahwa orang lain memiliki waktu yang lebih baik dari dirinya. Secara singkatnya, FoMO diartikan sebagai munculnya perasaan cemas, takut dan khawatir ketika seseorang tertinggal akan hal yang menarik dan kekinian sehingga dianggap tidak up date, ketika seseorang merasa kehilangan moment, tidak mengetahui informasi yang dianggap berharga dari orang lain atau kelompok lain, terlebih lagi apabila seseorang tersebut merasa terasingkan serta tidak dapat terhubung dan hadir  dalam suatu kelompok sehingga ia takut untuk tidak dapat diterima oelh orang lain. Hal ini juga dapat diidentifikasi dengan munculnya keinginan untuk dapat terus terkoneksi dan terhubung pada apapun yang dilakukan oleh orang lain melalui media sosial.

 

2.        Komponen Fear of Missing Out

Teori yang merupakan konsep dasar dalam menyusun aspek-aspek FoMO menurut Prybylski (2013) adalah Self Deterination Theory (SDT). Menurut Beliau FoMO dapat terjadi, ketika tidak terpenuhinya tiga aspek kebutuhan dasar psikologi, yaitu kompetensi, autonomi dan keterhubungan. Penjelasannya dalah sebagai berikut:

a.       Self, merupakan kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan autonomi dan kompetensi. Autonomi memliki makna sebagai kemampuan individu dalam menentukan sebuah keputusan. Sedangkan kompetensi merupakan suatu keyakinan bahwa seorang individu mampu melakukan suatu tindakan secara efektif dan efisien. Apabila kebutuhan akan self ini tidak terpenuhi dalam diri seserang, maka menggali suatu informasi dan berhubungan dengan orang lain melalui internet merupakan salah satu cara yang dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

b.       Relatedness, adalah suatu kebutuhan seseoarang untuk selalu merasa terhubung, tergabung dalam suatu kebersaan dengan individu lain atau dalam suatu kelompok. Ketika kebutuhan reletedness ini tidak terpenuhi, perasaan takut dan khawatir dalam diri seseorang akan muncul sehingga membuat seseorang yang mengalaminya akan mencoba mencari tahu tentang pengalaman dan aktivitas apa saja yang dilakukan oleh orang lain, seperti halnya melalui media sosial.

Sedangkan menurut Reagle (2015) komponen FoMO dibagi menjadi 4 komponen, yaitu:

a.       Comparison with friends, yaitu munculnya perasaan-perasaan negatif yang timbul karena individu melakukan perbandingan antara dirinya sendiri dengan temannya maupun orang lain.

b.      Being left out, yaitu munculnya perasaan negatif sebab seorang individu tidak dilibatkan dalam suatu perbincangan atau kegiatan.

c.       Missed experiences, yaitu munculnya perasaan negatif yang disebabkan oleh seorang individu tidak dapat terlibat atau melibatkan dirinya dalam suatu aktivitas.

d.      Compulsion, yaitu perilaku mengecek aktivitas yang dilakukan oleh orag lain secara berulang-ulang yang mana dilakukan oleh seorang individu untuk menghindari perasaan tertinggal berita terkini.

 

3.             Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO)

Menurut JWT Intelegen, faktor pendorong yang mempengaruhi munculnya FoMO ada enam aspek, yaitu:

a.       Keterbukaan informasi di media sosial

Media sosial merupakan salah satu sarana informasi paling cepat untuk saat ini. Hal ini menjadikan kehidupan individu semakin terbuka dengan cara membagi atau memamerkan apa yang terjadi saat ini, serta banyaknya pembaharuan informasi, kejadian, obrolan, vidio maupun gambar terhangat dan terbaru. Keterbukaan informasi inilah yang kemudian mengubah budaya masyarakat yang semula bersifat tertutup menjadi lebih terbuka.

b.      Usia

Usia yang memiliki nilai level FoMO tertinggi menurut JWT Inteligence (2012) yaitu usia yang berkisar antara 13 sampai dengan 33 tahun. Usia ini merupakan usia mayoritas masyarakat digital natives, yaitu masyarakat mahir menggunakan dan memanfaatkan internet. Masyarakat digital natives ini menduduki jumlah terbanyak pengguna internet dibanding dengan usia generasi yang lebih muda maupun lebih tua. Bagi kelompok ini, dunia internet sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

c.       Social one-upmanship

Social one-upmanship merupakan perilaku di aman seorang individu berusaha untuk melakukan sesuatu (baik perkataan, perbuatan atau mencari hal lain) untuk membuktikan bahwa dirinya lebih baik daripada orang lain. Biasa hal ini dibarengi dengan aktivitas “memamerkan” sesuatu secara daring dimedia sosial. Hal ini dapat memicu FoMO sebab FoMO sendiri terjadi karena adanya keinginan untuk menjadi lebih atau bahkan paling baik, paling hebat, atau superior dibandingkan orang lain.

d.      Peristiwa yang disebarkan melalui fitur hastag

Peristiwa-peristiwa yang berhastag ini tentulah sebuah peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan khalayak umum yang kemudian banyak pengguna media sosial yang mengetahuinya bahkan ikut serta menggunakan hastag tersebut. Hal yang demikian inilah yang kemudian akan menimbulkan perasaan tertinggal bagi individu yang tidak atau terlambat untuk ikut serta melakukan aktivitas tersebut.

e.       Kondisi depresi relatif

Kondisi isi disebabkan oleh perilaku individu yang kerap kali membandingkan dirinya dan kehidupannya dengan kehidupan orang lain hal inilah yang kemudian memunculkan perasaan missing out atau ketidakpuasan seseorang atas dirinya sendiri tatkala para penggunanya saling membandingkan diri di media sosial.

f.       Banyaknya stimulus untuk mengetahui suatu informasi

Stimulus-stimulus ini beruba maraknya hal-hal baru yang selalu menjadi topik menarik yang dapat didapatkan dengan mudah, bahkan tanpa usaha keras untuk mendapatkannya. Hal ini merupakan pendorong keinginana individu untuk tetap mengikuti perkembangan terkini dalam berbagai aspek dan ini kemudian memunculkan fear of missing out.

 

4.             Faktor-Faktor yang Menyebabkan FoMO dalam Perspektif Islam

Selain 6 aspek tersebut, juga terdapat beberapa faktor yang bersumber dari religi yaitu dari kajian Agama Islam. Diantara penyebab-penyebab menurut kajian Islam, yaitu:

1.      Manusia engan menggunakan potensi yang dimiliki dan dikaruniakan Sang Pencipta kepadanya, terutama potensi qalbnya untuk memahami, mata untuk memperhatikan, telinga untuk mendengar dan menyimak dan lain sebagainya. (QS, 7:179)

2.      Karena potensi-potensi tersebut tidak diberdayak oleh manusia dengan semaksimal mungkin sebagaimana mestinya, maka Allah-pun mengunci potensi tersebut. (QS, 33:26 dan QS, 7:100-101)

3.      Dikarenakan Allah telah mengunci potensi tersebut, maka ketakutan, keraguan, kebimbangan serta kerugian pun senantiasa meliputi mereka. (QS, 33:26; 9:45, dan 3:106)

4.      Jiwa manusia kemudian diliputi dengan prasangka buruk, dosa-dosa, kemaksiatan serta hati yang mendua (mendukan Allah dengan hal-hal yang bersifat duniawi). (QS, 48:12; 9:8 dan 9:64)

5.      Jiwa manusia dipenuhi dengan rasa ujub, sombong, congkak dan sebagainya. (QS, 40:35)[5]

Menurut berbagai pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya salah satu faktor FoMO adalah manusia yang tidak dapat menggukan potensi baik yang sudah dianugrahkan kepadanyadengan baik, sehingga Allah mengunci potensi tersebut. Hal ini merupakan sebb mengapa individu tidak dapat mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari sesuatu yang mereka kerjakan. Selain tidak dapat mengoptimalkan potennya, FoMO juga disebabkan karena kebanyakan perbuatan manusia pada zaman sekarang lebih didasarkan pada dorongan syahwat dan hawa nafsu.

5.             Peran Media Sosial dalam Permasalahan Fear of Missing Out

Dari pemaparan-pemaparan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tentu media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam kemunculan FoMO apalagi mayoritas manusia adalah penggunanya. Salah satu faktor utama yang telah disebutkan tadi adalah media sosial ini merupakan jembatan dan tempat untuk mencari informasi dan berkomunikasi, serta merupakan tempat penyebaran berita berita terkini dengan sangat cepat sesingga dapat membuat seorang individu merasa cemas dan takut tertinggal.

Peran media sosial erat kaitannya dengan kebutuhan individu dalam bersosialisasi. Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki kebutuhan untuk dapat berinteraksi dalam suatu masyarakat, mendapatkan penakuan akan eksistensi lingkungan, mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar dan kebutuhan kebutuhan sosial lainnya. Karena hal ini adalah suatu kebutuhan, maka individu juga akan berusaha memenuhinya. Dan salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut pada zaman sekarang adalag dengan selalu eksis di media sosial, yang mana hal ini memiliki tujuan salah satunya adalah agar seseorang mendapatkan pengakuan, perhatian dan rasa diterima oleh lingkungan sekitar dan kalayak umum.

Dalam kasus ini, terdapat tiga kebutuhan yang menyebabkannya, diantara ketiganya adalah sebagai berikut:

a.       Kebutuhan sosial.

Di era digital seperti sekarang ini, banyak anak muda yang merasa membutuhkan dan menuntut terpenuhinya persahabatan dengan banyaknya jumlah followers, subscribe, view, like, comment dan lain sebagainya. Dalam interaksi sosial secara virtual ini, pengakuan adalah salah satu tujuan utamanya. Dengan terpenuhinya kebutuhan ini dengan media sosial virtual walau tanpa kehadiran individu lainnya secara langsung, akan membuat suatu budaya dan kebiasaan baru bagi generasi saat ini. Dengan segala kemudahan ini, akan membuat para pengguna media sosial merasa lebih nyaman dalam duni barunya ini (virtual).

b.      Kebutuhan penghargaan

Kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan ini tentu melibatkan orang lain di dalamnya. Walaupun dalam segala keterbasan jarak dan waktu, media sosial tetap menjadi sarana yang mampu memenuhi kebutuhan individu akan penghargaan dan pengakuan, bahkan tanpa disadari dunia nyata yang merupakan lingkungan terdekatnya malah sering membandingkan seseorang sehingga ia tidak merasa dihargai dan diakui. Hal ini semakin menjadikan media sosial sebagai pelarian untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang mana tidak ia dapatkan dalam dunia nyatanya. Berinteraksi dalam dunia maya terkadang juga akan membuat pelakunya terlena dan nyaman sebab ia tidak merasakan dampak atau tekanan secara langsung dari orang-orang sekitarnya.

c.       Kebutuhan aktualisasi diri

Aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mencari jati dirinya, hal inilah yang kemudian akan menelimuti dan mendorong segala ktivitas dan komunikasi individu sehari-harinya. Dan Fear of Missing Out ini merupakan salah satu damapk negatif yang diperoleh individu jika tidak dapat memanfaatkan media sosial dengan baik.

Demikianlah beberapa diantara pengaruh media sosial dalam fenomena FoMO yang berkaitan dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi dengan individu lainnya.

 

6.             Dampak dari Fear of Missing Out

Prsybylski etal (dalam putra, 2018) menemukan bahwa level FoMO yang tertinggi sangat berkolerasi pada suasana hati hati serta kepuasan diri yang rendah pada kebutuhan otonomi, kompetensi, serta relasi. [6]Hal inilah yang kemudian menyebakan seorang individu  kurang mampu dan sulit untuk mengatur perasaan cemas dan takut kehilangan sehingga membuatnya tidak mampu untuk mengontrol emosi dan perilakunya.

Dari Fear of Missing Out seorang individu akan selalu merasa terikat dengan mediasosial. Hal ini disebabkan karena individu akan takut melewatkan waktu, takut leih lambat dan tertinggal oleh orang lain dan takut bahwa orang lain akan mendapatkan pengalaman yang lebih berharga daripada dirinya.

 

7.             Fear of Missing Out dalam perspektif Islam

Dalam ilmu Tauhid membagi ketakutan dan kekhawatiran menjadi 3 macam, yaitu takut alamiyah (khauf thabi’i), takut bernilai ibadah (khauf ibadah), dan takut yang bersifat tersembunyi (khauf as-Sirri).

Fear of Missing Out ini termasuk ke dalam jenis ketakutan dan kekhawatiran yang pertama, yaitu khauf thabi’i atau ketakutan alamiyah. Ketakutan alamiyah ini merupakan suatu perasaan takut yang muncul secara alamiyah karena tabiat manusia, seperti takut api, takut binatang buas, takut tenggelam dan lain sebagainya termasuk juga kekhawatiran yang berupa FoMO.

Ketakutan semacam ini tentu harus didasari dengan sesuatu yang jelas sebabnya, bukan hanya berupa dugaan atau wahm belaka. Ketakutan semacam ini juga diperbolehkan apabila ketakutan ini tidak mempengaruhi aktivitas kita dan keimanan kita kepada Allah serta tidak melebihi kadar ketakutan kita kepad aAllah swt. namun ketakutan ini akan menjadi suatu hal yang tercela apabila hal ini sudah mulai mengganggu aktifitas individu dalam keshariannya, emosi dan perilakunya mulai tidak terkontrol, ketakutan ini kadarnya melebihi ketakutan kepad Allah, ketakutan ini menimbulkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki atau juga sombong dan lain sebagainya.

Maka dari itu, sebisa mungkin kita harus mampu mengontrol penggunaan media sosial untuk meminimalisir adanya FoMO dan sifat-sifat tercela yang disebabakan karenanya.

 

8.             Mengatasi FoMO dengan perspektif Behavioristik

Salah satu cara untuk meminimalisir bahkan mengatasi FoMO dalam presfektif behavioristik yaitu dengan kontrol diri. Kontrol diri merupakan keahlian seorang individu untuk mengarahkan, mengatur serta membimbing tingkah laku  dan juga memegang kontrol penuh atas dirinya sendiri secara penuh sehingga individu juga dapat mengontrol keinginannya yang kuang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku (Puspitadesi, dkk 2013). Sedangkan menurut Averil, kontrol diri adalah bagaimana individu dapat mengatasi keluhan negatif, sehingga menjadikan keadaan menjadi lebih baik.

Adapun aspek-aspek yang ada dalam kontrol diri menurut averill (Ghufron dan Rini, 2010), yaitu

1.      Behavioral Control (Kontrol Perilaku)

Kontol perilaku merupakan kesiapan respon seorang individu dalam menghadapi sesuatu yang dirasa kurang menyenangkan. Kemampuan individu dalam mengontrol perilaku ini memiliki dua komponen; kemampuan dalam mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan dalam mengatur pelaksaan adalah kemampuan individu untuk menentukan siapakah yang mampu mengendalikan suatu keadaan dan situasi. Jika dirinya sendiri tidak mampu menentukannya, maka ia akan menggunakan sumber eksternal. Dan selanjutnya kemampuan mengatur stimulus, adalah suatu kemampuan untuk mengetahui kapan dan bagaimana ia harus menghadapi suatu stimulus yang tidak ia kehendaki. Beberapa cara untuk mengatur, yaitu dengan mencegah atau menjauhi stimulus, menempati jarak atau tenggang waktu yang terdapat diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktu stimulus habis dan membatasi intensitas dari stimulus ini.

2.      Cognitive Kontrol (Kontrol Kognitif)

Kontrol kognitif merupakan kemmapuan seorang individu dalam menilai dan mengolah informasi dengan cara menghubungkan dan mencocokkan suatu kejadian dengan kejadian lainnya dalam kerangka kognitif. Hal ini bertujuan agar seorang individu dapat memperhitungkan dan menafsirkan suatu kejaidian atau kondisi dan memandangnya dari segi yang subjektif dan positif sehingga seorang individu meminimalisir tenakan. Komponen-komponen yang ada dalam aspek ini adalah mendapatkan informasi dan melaksakan evauasi.

3.      Retrospektive Control (Kontrol Retrospektif)

Adalah kemampuan mengontrol pengalaman masa lalu. Ketika seorang idividu mengalami suatu kejadian dalam hidupnya, mereka kerap kali mencari makna atau arti dari kejadian yang dialami tersebut. Hal ini mungkin tidak akan menjadikannya dapat meramal atau memprediksi apa yang akan terjadi, namun hal ini dapat membantu seorang individu untuk meringankan kekhawatiran dan kecemasannya.

Selain dengan kontrol diri, hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi FoMO adalah dengan cara menganal diri sendiri. Tahu aapa yang menjadi kekurangan dan kelemahan diri sendiri, tahu apa yang dibutuhkan dan yang tidak, tahu apa yang dapat dikontrol oleh diri sendiri dan yang tidak  dan lain sebagainya.

9.             Mengatasi FoMO dengan Prespektif Tasawuf

Tasawuf merupakan suatu ajaran agama Islam untuk mensucikan hati seorang sufi untuk menuju Tuhannya. Namun, selain ajaran tentang bagaimana etika seorang sufi terhdap Tuhannya, dalam tasawuf juga mengajarkan bagaimana manusia beretika dengan sesama serta bagaimana menumbuhkan jiwa yang sehat dalam diri individu. Diantara ajaran-ajaran tasawuf yang disuguhkan untuk mengatasi permasalah Fear of Missing Out  adalah:

a.              Menjaga Diri dari Syahwat Hawa Nafsu (dengan Berpuasa)

Syahwat dan hawa nafsu merupakan dorongan dalam diri individu untuk mendapatkan dan melakukan sesuatu yang disenanginya. Dalam teori psikologi Sigmund Freud hal ini bisa disebut dengan Id sedangkan media sosial merupakan penyalur dorongan ini sehingga dapat disebut dengan Ego, dan Super Ego berupa  nilai moral, aturan, norma dan akhak.

Dalam persoalan FoMO, keinginan untuk selalu terhubung dengan orang lain, selalu mengikuti perkembangan yang ada, ingin terlihat lebih atau menjadi paling baik dibandingkan dengan orang lain dan lain sebagainya tersebut merupakan suatu dorongan nafsu yang terdapat dalam diri manusia. Apabila seseorang tidak dapat mengendalikan nafsunya ini, ia cenderung akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya, walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan nilai moral, norma dan aturan yang berlaku.

Oleh karen itu, angat penting bagi setiap individu untuk menjaga diri nari syahwat dan hawa nafsu. Dan melakukan amalan puasa merupakan salah satu metode menjinakkan hawa nafsu yang disuguhkan oleh ajaran agama Islam.

b.             Makrifatun nafs

Makrifatun nasf adalah kemampuan individu untuk mengenali dirinya sendiri. Beberapa aspek pengenalan diri yang dapat menjadi beberapa solusi untuk mengatasi FoMO adalah

1.             Mengenali kelebihan dan kekurangan diri, hal ini diharapkan agar setiap individu memiliki konsep diri yang baik dan tidak selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, sehingga menghindarkannya dari kecemasan.

2.             Mengetahui sesuatu yang dapat dikontrol dan tidak. Penilaian orang lain terhadap diri kita bukanlah sesuatu yang dapat kita kontrol dan hal yang dapat kita kontrol adalah respon kita terhadap penilaian tersebut, bagaimana kita menanggainya, menentukan apa yang akan kita lakukan kedepannya dan bagaimana kita mengevaluasi diri kita dengan hal tersebut.

Dengan demikian hal yang dapat dilakukan adalah dengan memfokuskan diri dengan apa yang dapat dikontrol, bukan dengan penilain dari orang lain. Dalam hal ini, bukan berarti harus mengabaikan seratus persen penialain orang lain, karena penilai orang lain juga dapat menjadi salah satu tolak ukur untuk seorang individu mengevaluasi dirinya (mengambil baiknya saja).

3.             Mengetahui seberapa besar kemampuan dirinya (dalam berbagai persoalan) dan tidak terlalu memaksakan diri untuk mencapai sesuatu diluar batas kemampuannya.

4.             Mengetahui apa tujuan utama serta kebutuhannya sehingga dapat lebih dapat fokus terhadapnya bukan hanya berfokus dengan keinginan yang tidak terlalu penting untuk tujuan dan kebutuhan dalam hidupnya.

5.             Dan lain sebagainya.

c.              Qanaah, merupakan sikap rela menerima dan merasa cukup atas segala seuatu yang telah diberikan oleh Tuhan dan tidak merasa kurang atasnya. Jika dalam diri individu telah tertanam nilai qanaah, secara otomatis ia akan lebih dapat menerima dirinya dan tidak membandingkan kehidupannya dengan orang lain, bahkan hingga merasa bahwa kehidupannya tidak lebih baik dari kehidupan orang lain.

Hal ini kemudian akan membuahkan suatu ketenangan batin karena individu telah menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya, menerima kehidupannya, merasa kucup atas segala seuatu yang telah ia punya (baik bersifat material atau bukan) dan akan meminimalisir kekawatiran yang berlebih dari FoMO.

d.             Ridlo

Ridlo adalah kerelaan hati dalam menerima segala sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan kepadanya, baik itu berupa sesuatu yang disukai maupun tidak, serta mempercai bahwa hal tersebut adalah yang terbaik baginya. Dengan kerelaan dan penerimaan ini, seorang individu akan dapat lebih berlapang dada menerima bahwa tak semua yang ia dapat harus sama dengan yang orang lain dapat. Menerima bahwa dirinya tak harus terlihat lebih baik, hebat dan superior dibandeng dengan orang lain. Dan dalam hal ini, individu juga memahami bahwa setiap orang hakikatnya sama. Dalam setiap kehidupan individu tentu ada yang namanya sesuatu yang menyenangkan dan tidak, dan bisa saja yang orang lain tunjukkan hanyalah hal menyenangkan yang hanyamerupakan bagian kecil dari hidupnya sehingga dapat juga mencegah dan mengatasi sifat iri dan dengki dalam diri individu.

Demikianlah beberapa cara menangatasi Fear of Missing Out dalam presfektif tasawuf.

C.    Kesimpulan

Fear of Missing Out merupakan suatu kegelisahan yang melibatkan perasaan seseorang, seperti merasa kehilangan atau tertinggal ketika ketika orang lain melakukan sesuatu yang dianggap lebih berharga dibandingkan dengan apa yang ia lakukan ada saat itu.

Diantara komponen dari Fear of Missing Out  menurut Prybylski (2013) adalah self, dan reletedness, sedangkan menurut Regle (2015)  adalah Comparison with friends, being left out, missed experiences dan compultion.

Keterbukaan informasi, usia, social one-upmanship, peristiwa yan disebarkan melalui fitur hastag,  kondisi depresi relatif dan banyaknya stimulus untuk mengetahui suatu informasi merupan faktor-faktor yang dapat menyebabkan FoMO.  Dan salah satu faktor FoMO dari perspektif tasawuf adalah manusia yang tidak dapat menggukan potensi baik yang sudah dianugrahkan kepadanyadengan baik, sehingga Allah mengunci potensi tersebut. Hal ini merupakan sebb mengapa individu tidak dapat mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari sesuatu yang mereka kerjakan. Selain tidak dapat mengoptimalkan potennya, FoMO juga disebabkan karena kebanyakan perbuatan manusia pada zaman sekarang lebih didasarkan pada dorongan syahwat dan hawa nafsu.

Media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam hal ini, karena media sosial sendiri merupakan penghubung dan penyalur manusi dengan beberapa aspek kebutuhan sosial psikologisnya yang juga tak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam kesehariannya.

Dampak dari level FoMO yang tertinggi sangat berkolerasi pada suasana hati hati serta kepuasan diri yang rendah pada kebutuhan otonomi, kompetensi, serta relasi.  Hal inilah yang kemudian menyebakan seorang individu  kurang mampu dan sulit untuk mengatur perasaan cemas dan takut kehilangan sehingga membuatnya tidak mampu untuk mengontrol emosi dan perilakunya.

Fear of Missing Out dalam pandangan tasawuf termasuk ke dalam jenis ketakutan dan kekhawatiran yang pertama, yaitu khauf thabi’i atau ketakutan alaiyah. Ketakutan alamiyah ini merupakan suatu perasaan takut yang muncul secara alamiyah karena tabiat manusia, seperti takut api, takut binatang buas, takut tenggelam dan lain sebagainya termasuk juga kekhawatiran yang berupa FoMO.

Dalam sudut pandang behavioristik FoMO dapat diatasi dengan konsep kontrol diri (kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol retrospektif) dan dengan pengenalan terhadap diri sendiri. Dan dalam sudut pandang tasawuf, FoMO dapat diatai dengan ajaran tasawuf yang berupa penjagaan diri terhadap syahwat dan nafsu, makrifatun nafs, qanaah, dan ridlo

 

Daftar Pustaka

Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah Alqur'an (MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya.

Hadiarni. (2016). Psikopatologi Akibat Kecanduan Media Sosial dan Bimbingan Konseling Islami Sebagai Alternatif Solusinya. Batusankar International Conference.

Imaddudin. (2020). Fear of Missing Out (FoMO) dan Konsep Diri Generasi-Z: Ditinjau dari Aspek Komunikasi. Journalism, Public Relation and Media Communication Studies Journal.

Nicho Alinton Sianipar, D. V. (2019). Hubungan Antara Regulasi Diri dengan Fear of Missing Out (FoMO) Pada Mahasiwa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Empati.

Sutrisni Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta; Fak. Psikologi UGM, 1990)

Syars, E. (2013). The effects of smartphone use on cognitive and social functions

(Undergraduate). University of Colorado.

Triani, C. I. & Ramdhani, N (2017). Hubungan Antara Kebutuhan Berelasi dan Fear

of Missing Out pada Pengguna Media Sosial dengan Harga Diri Sebagai Moderator (Unpublished Thesis). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Turkle, S. (2011). Alone together: why we expect more from technology and less

from each other. New York, NY: Basic Books.Wallace, P. (2014). Science & Society: Internet addiction disorder and youth. EMBO Reports, 15(1), 12-16.

Wibowo, D.S., & Nurwindasari, R. (2019). Hubungan Intensitas Penggunaaan

Instagram Terhadap Regulasi Diri dan Fear Of Missing Out. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Muhammdiyah Jember.

Wire, P. (2014). Summer Is The Peak Season For Fear Of Missing Out As New

Research Shows That 60% Of Brits Claim To Experience FOMO. Diakses dari www.pressat.co.uk/releases/summer-is-the-peak-season-for-fear-ofmissing-out-as-new-research-shows-that-60-of-brits-cla

Wulandari, A. (2020). Hbungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada

Manusia. scolar.

 

 

 

 



[1] Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah Alqur'an (MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya. Academia, 3.

[2] Sutrisni Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta; Fak. Psikologi UGM, 1990)

[3] Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak Kiki Mustofa, S. (2017). Kumpulan Makalah Alqur'an (MMQ) MTQ Ke XXXV Kabupaten Tasik Malaya. Academia, 3

[4] Wulandari, A. (2020). Hbungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada Manusia. scolar, 18.

 

[5] Hadiarni. (2016). Psikopatologi Akibat Kecanduan Media Sosial dan Bimbingan Konseling Islami Sebagai Alternatif Solusinya. Batusankar International Conference, 348.

[6] Wulandari, A. (2020). Hubungan Kontrol Diri dengan Fear of Missing Out Pada Manusia. scolar, 24.

Popular posts from this blog

Mari Memperbarui Diri di Tahun Baru Ini!

Ternyata kecewa juga ada nilai positifnya lho. Sudah tau belum?

BAHAGIA HANYA BISA DIRASAKAN OLEH MEREKA YANG MENEMUKAN KUNCINYA